Tukang Becak
Di sekitar kampus saya banyak sekali becak yang antri setiap harinya. Biasanya para tukang becak itu selalu menawarkan jasa setiap kali orang melewatinya. Mereka sering mangkal di sekitar pintu-pintu gerbang kampus. Berbaris menunggu giliran masing-masing, seperti ada aturan non formal yang telah disepakati. Barisan terdepan yang akan memperoleh pelanggan, selanjutnya barisan kedua, ketiga, dan seterusnya, kecuali pelanggan memilih sendiri becak mana yang ingin dinaiki.
Becak merupakan transportasi alternatif dan memang satu-satunya kendaraan untuk mencapai kampus yang jaraknya cukup jauh dari gerbang utama. Saya biasa berjalan kaki untuk mencapai kampus, tetapi jika waktu sudah mendesak dan ada indikasi akan terlambat, maka saya lebih sering naik becak. Selain saya tidak memiliki kendaraan pribadi, naik becak juga sangat santai dan sejuk. Itu hanya pada saat mendesak atau membawa barang-barang tertentu yang cukup berat, jika tidak saya lebih senang berjalan kaki di pagi hari, hitung-hitung olahraga.
Ada hal yang sangat saya sukai dari komunitas tukang becak ini. Mereka sangat solid dan akrab satu sama lain. Selain itu mereka juga sangat ramah kepada para pelanggan. Tak jarang pelanggan bercakap-cakap dengan tukang becak dalam perjalanan. Biasanya tukang becak itu akan bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, dan kondisi negara yang carut-marut sehingga sangat berdampak pada kehidupan keluarga mereka. Kebanyakan dari mereka saya nilai cukup kritis dengan kondisi negara ini, bahkan banyak yang memberikan masukan dan uneg-uneg dari rakyat pinggiran (istilah yang mereka gunakan). Sebagai mahasiswa, tak jarang kita berdiskusi dengan mereka, mulai dari ekonomi sampai politik. Saya bahkan cukup terkejut dengan pengetahuan umum mereka yang sangat “up to date” dan sekaligus malu, sebagai mahasiswa terkadang ada beberapa permasalahan kontemporer yang lamban untuk direspon, sementara para tukang becak ibarat media cetak yang setiap harinya selalu mempunyai informasi baru tentang perkembangan negara ini.
Ada kisah menarik lainnya yang saya temui seputar tukang becak. Dia bukan tukang becak biasa, tapi luar biasa. Karena apa? Dia masih muda belia, bahkan masih remaja. Usianya saya kira sekitar 12 sampai 13 tahun. Becak itu pun terlalu tinggi baginya, bahkan untuk mengayuh sepeda saja kakinya tidak sampai ke dayung becak hingga dia harus membungkuk dan menggerakkan seluruh badannya untuk sampai pada kayuhan tersebut. Saat saya tanya kenapa jadi tukang becak, dia hanya menjawab, “Bantu bapak yang lagi sakit”. Subhanallah betapa berbaktinya dia sebagai seorang anak. Dia tidak sekolah lagi, tapi dia sedang menabung untuk biaya sekolah kelak. Tak jarang tubuh kecilnya kesulitan mengayuh becak yang cukup berat itu, namun semangatnya tak kalah dengan para mahasiswa yang demonstrasi di DPR (bisa aja deh). Tapi sungguh, saya sangat bangga padanya, walau hanya menjadi seorang tukang becak, namun semangat belajarnya sangat tinggi dan kemauannya untuk maju sangat besar, dan hal itu sangat layak untuk dicontoh oleh generasi muda.
Begitulah sekilas tentang kisi-kisi kehidupan para tukang becak yang layak kita ambil hikmahnya. Tanpa mereka, mungkin sebagian orang akan kesulitan untuk mencari transportasi alternatif. Walaupun sekarang katanya becak tidak layak masuk kota, dan terkadang memang becak menyebabkan kemacetan lalu-lintas, namun satu hal yang kita lupakan, komunitas becak ini layak mendapatkan penghargaan atas jasanya.
Anda bisa bayangkan betapa berat becak yang dikayuh dengan kaki, lalu cuaca yang panas tak dihiraukan saat menunggu pelanggan atau membawa pelanggan ke tempat tujuannya, dan hal lainnya yang sangat mungkin kita amati. Setidaknya kita atau aparat pemerintah bisa berlaku adil untuk mereka, bukan “gerebek, angkat, sita, dan masuk sel” yang seharusnya mereka dapatkan, melainkan sebuah kesepakatan atau aturan yang tidak merugikan. Bagi kita mungkin sekedar tidak memaki atau menjadi pelanggan mereka itu sudah cukup bagi mereka.
Kalau kata teman saya, “Perhatikan orang-orang lemah di sekitar kita”. Mungkin ungkapan itu cukup untuk membuka mata dan nurani kita untuk lebih peka terhadap orang-orang di sekitar kita. Wallahua’alam.
Created by : Hanan2jahid, GenRo Force Studio, di malam ujian hari ketiga.
NB : Terimakasih buat para tukang becak kampus yang selalu ada saat ana terlambat :D.
Lain kali ngga boleh terlambat ya, buat yang lain juga. Dan sekali-kali perlu tuh naik becak, biar tukang becaknya bisa menjemput rezekinya :)
2 comments
Subhanallah....
ReplyDeleteAlhamdulilah Allah masih selalu sayang kepada kita semua...terbukti bahwa untuk mencapai 'khairu ummah', Allah telah menyediakan berbagai 'Tools' bagi siapa saja yang jeli untuk memanfaatkannya....
Banyak sekali nilai-nilai dan energi positif yang dapat kita pelajari dari berbagai sisi kehidupan....bisa dari pedagang sayur...dari abang becak...Mbok Narti...dari nenek penjual Pecel (yg di Medan itu...beliau masih ada gak yach )....bahkan dari sosok kepolosan kehidupan anak-anak kecil disekitar kita.
Khusus untuk anak -anak kecil, subhanallah, jika kita rajin mengikuti runut abjad kehidupannya...banyak pelajaran yang dapat kita peroleh antara lain, Semangat untuk pantang menyerah, tidak putus asa untuk selalu mencoba, berani menanggung resiko, dll.
Mungkin ini pula yang menjadikan rahasia bahwa ayat yg pertama kali turun adalah IQRA' ... wAllahu a'lam bishshowab
Niwe, semoga Allah ijinkan kita semua untuk selalu mengasah kepekaan jiwa kita sehingga bisa lebih baik hari demi hari.
Dan rahasianya ...ternyata adalah...berbuat...berbuat dan berbuat. Allah dan Rosul serta kaum mukmin menjadi saksi atas ini semua. Fastabiqul khairot !!
Note : Mbok Narti...salah satu artikel yang pernah dimuat di eramuslim yg berkisah tentang seorang pramuwiswa + pengasuh anak yang dirindukan kasih sayangnya oleh anak-anak majikannya (melebihi dari rindu mereka ke ortunya)....sedangkan nenek penjual pecel...lupa deh...medan atau padang. Seingat ana Medan...yg punya trik untuk 'mencegah' kepikunan dengan selalu rajin berjualan (sering menghitung dan mengkalkulasi segala kebutuhan)...beliau sanagt mandiri dan tidak mau menjadi beban anak-anaknya...plus sikapnya yg tidak gila harta...jika ada yg lebih muda berjualan selalu mbok ini memberi kesempatan kepadanya...sehingga beliau rela merintis di tempat lainnya lagi. dll...artikel tsb pernah dimuat di eramuslim juga kayaknya
ReplyDelete