Mencari Segenggam Kebahagiaan

By hanan2jahid - May 08, 2005



Cuaca siang itu sangat panas. Kabarnya, suhu kota Medan dan sekitarnya telah mencapai 39 derajat celcius dan jarang sekali turun hujan. Serombongan mahasiswa berjilbab sedang asyik menikmati segarnya teh manis dingin, dan beberapa piring makanan di sebuah warung terdekat di sekitar kampus mereka. Salah satu mahasiswa itu adalah saya. Peluh sebenarnya sudah membasahi jilbab dan pakaian yang saya kenakan, namun karena dinginnya es teh manis yang membasahi kerongkongan, peluh itu seakan menguap dan menjauhi kami yang sedang membahas masalah praktikum yang setengah jam lagi akan segera dilaksanakan. Masih ada kesempatan untuk beristirahat sejenak, melepaskan lelah yang sedari pagi telah mampir ke tubuh ini. Bagaimana tidak? Malamnya saya harus menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, dan tidur dengan waktu yang sangat minim. Badan terasa sangat letih dan lemas. Mata pun sudah sangat mengantuk. Andaikan disuguhi kasur, tak sampai sedetik mungkin mata ini akan segera terlelap, tetapi Alhamdulillah Allah masih memberi kekuatan untuk tidak tidur dan tetap beraktivitas.

Usai beristirahat, kami kembali ke laboratorium. Sementara yang lain sudah sampai di laboratorium, saya yang berada di barisan terbelakang rombongan berhenti sejenak. Saya tertarik memperhatikan rombongan bapak-bapak tua yang sedang beristirahat tidak jauh dari tempat praktikum kami. Saya rasa usia mereka berkisar antara 50 sampai 60 tahun, terlihat dari kerutan-kerutan di wajah mereka. Mereka adalah para pembabat rumput yang biasa mangkal di sekitar lab. Biasanya mereka beristirahat sat tengah hari, ada yang sedang makan, ada yang tidur, dan ada yang hanya sekedar duduk-duduk saja. Hanya senyum dan sapaan yang dapat saya berikan setiap kali melewati mereka.

Namun kondisi kali ini sungguh berbeda seperti biasanya. Ada sebuah pemandangan yang membuat hati saya tergetar. Sebuah pemandangan yang sangat menyentuh hati setiap orang yang lewat. Kecuali orang-orang yang telah buta mata hatinya. Di sudut lorong itu, ada beberapa orang bapak-bapak yang sedang makan dengan lauk seadanya. Saya dapat menebak bahwa mereka membawa bekalan dari rumah masing-masing. Lalu ada yang tidur hanya dengan beralaskan kardus dan koran, sangat lelap, mungkin karena mereka sudah kecapaian saat membersihkan rumput-rumput sekitar kampus. Sementara sepeda mereka diparkirkan tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. Dan satu pemandangan yang paling menggetarkan hati saya, seorang bapak tua yang asyik memunguti sesuatu dari tempat sampah. Awalnya saya kira bapak itu hanya ingin membersihkan sampah di sekitar tempat istirahatnya, tetapi setelah saya cermati ternyata ia sedang memilah-milah sampah itu. Apa yang dipilahnya? Ternyata kertas-kertas yang ia ambil. Selain itu ada juga gelas dan botol plastik minuman bekas. Setelah dipilahnya kemudian ia masukkan ke dalam plastik dan ia gantungkan di sepedanya. Hanya ia yang melakukan hal itu, sementara teman-temannya sedang enak-enaknya beristirahat. Saya menyapanya sambil tersenyum, lalu ia membalasnya dengan senyuman pula. Duhai, betapa tulus senyum yang terlihat. Betapa bahagia raut wajahnya. Saya bisa menebak lagi mungkin ia sangat senang dengan hasil hari ini, cukup banyak barang-barang yang ia kumpulkan tadi, tetapi saya tidak berani untuk bertanya.

Saya tidak sanggup mengendalikan hati saya. Setelah bercakap-cakap sebentar dengannya, saya pun pamit. Di sepanjang perjalanan menuju lab, mata saya sangat panas, ada beberapa bulir air mata yang mendesak ingin keluar. Tapi saya tahan karena malu dengan orang sekitar. Teringat dengan kejadian yang saya lihat tadi. Kondisi bapak itu yang sangat bertolak belakang dengan saya. Sementara saya asyik makan siang dengan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya, minum dengan segelas teh manis dingin, dan setelah itu dengan mudah mengeluarkan uang untuk membayarnya, tetapi tidak dengan bapak itu. Ia membawa bekalan yang disiapkan istrinya, hanya dengan lauk seadanya. Lalu ia bukannya mengeluarkan uang, melainkan ia mengais tempat sampah untuk menghasilkan uang. Subhanallah...saya sangat terharu.

Satu hal lagi yang saya tangkap dari wajahnya, ia sangat bahagia. Ya. Ia sangat bahagia. Senyumnya benar-benar tulus dan lembut. Senyuman seorang ayah kepada anaknya. Wajahnya sangat tenang dan tidak terlihat sedikitpun beban yang menggantung di wajahnya. Ia sangat bahagia. Walau untuk mencari segenggam kebahagiaan itu ia harus mengais tempat sampah, harus tidur di atas kardus, dan harus bekerja keras membersihkan rumput sekitar kampus yang sangat luas, tetapi ia bahagia. Ia bahagia bisa pulang dengan membawa segenggam kebahagiaan pula untuk anak dan istrinya. Segenggam materi yang mungkin sangat berguna untuk menyambung hidup mereka, atau barangkali untuk sekolah anak-anaknya. Bahagia karena telah menjemput rezeki dari Allah dengan jalan yang halal, bahagia karena hari itu ia tidak merugikan orang lain, bahkan ia membantu membersihkan sampah-sampah itu.

Subhanallah...
Hari itu saya mendapat banyak pelajaran dari seorang bapak tua yang tak saya kenal. Sederhana memang, namun melalui kesederhanaan yang ditampilkannya, ia mampu mencari segenggam kebahagiaan bagi dirinya dan keluarganya dengan cara yang halal dan bermanfaat.
Tidak seperti orang-orang yang mencari kebahagiaan dengan cara merampas hak-hak orang lain bahkan merugikan banyak orang. Seperti para pejabat yang korupsi untuk memperoleh jabatan atau materi berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus juta tanpa memandang sebelah matapun orang-orang seperti bapak tua tadi. Atau seperti petugas birokrasi di manapun yang bila menyelesaikan urusan masyarakat harus ada uang pelicin. Lihatlah!, bapak itu adalah satu contoh dari orang-orang mulia, yang dengan fikiran sederhana dan cara sederhana mampu memberikan hikmah bagi orang-orang disekitarnya.

Mungkin suatu saat, orang-orang yang mengambil hak orang lain itu bisa sekali-kali turun jabatan untuk melakukan hal seperti yang dilakukan bapak tadi. Agar hati ini bisa mencair dari keserakahan, dari kesombongan, dan dari segala fikiran negatif yang mempengaruhi jiwa kita.
Mencari segenggam kebahagiaan sangatlah mudah bila kita memandangnya dengan pandangan yang mudah pula dan cara yang benar pula sesuai Al-Qur’an dan sunnah.
Atau mungkin kita termasuk ke dalam orang-orang yang merampas hak orang lain? Pasti tidak akan ada kebahagiaan sejati itu....


Created by : Hanan2jahid, saat hikmah itu mampu kumaknai dengan sederhana

  • Share:

You Might Also Like

0 comments