Kehidupan bagaikan roda, Beribu zaman terus berputar
Namun satu tak akan pudar, Cahya Allah tetap membahana
Majulah sahabat mulia, Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa, Cita kita tetap satu jua
Walau raga meregang nyawa, Harta dunia tiada tersisa
Namun jiwa tetaplah satria, Takkan surut satu langkah jua
Majulah sahabat mulia, Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa, Cita kita tetap satu jua
Debu-debu dab darah suci, saksi nan tak terbantahkan lagi
Gunung lembah hutan dan samudra, Untuk Allah di atas segalanya
Lirik nasyid Izzatul Islam itu mengalir di benak saya. Teringat saat-saat perjuangan dahulu. Bersama seorang sahabat yang senantiasa menjadi pendamping di kala suka dan duka. Saya masih ingat, lirik ini menjadi lirik yang paling kami minati. Di setiap agenda dakwah, aksi-aksi, mabit, dauroh, dan sebagainya. Selalu hadir nasyid yang menggelorakan semangat di dada kami. Masya Allah...
Kata-katanya waktu itu, saat pertemuan di sebuah konser amal, sangat mengejutkan saya. Ia telah memutuskan untuk tak seiring sejalan lagi dengan saya, walau kami tetap di bawah satu panji yaitu islam. Metode kami sudah berbeda, cara berfikir kami pun sudah berbeda, walau begitu ia tetaplah saudara saya, sahabat terbaik yang pernah saya miliki.
Masih teringat jelas kata-katanya waktu itu, “Ana ingin pindah ukh”. Deg. Saya terkejut dan sudah dapat menebak arah pembicaraannya, dan saya juga faham bagaimana kondisinya luar dalam hingga ia berani mengambil sikap seperti itu. Lalu saya katakan padanya, “Kita sudah sama-sama dewasa. Anti tahu jalan mana yang harus dipilih. Tak mungkin ana paksakan apa yang seharusnya anti pilih. Tak perlu juga ana memaksa anti untuk tetap pada jalan ini, karena itu semua adalah hak anti. Walau jujur ana katakan, ana sebagai seorang saudara belum ikhlas dengan keputusan anti, tapi bagaimanapun juga keputusan ada di tangan anti. Satu yang harus anti fahami bahwa di manapun anti berada, tetaplah menjadi orang yang memberikan manfaat kepada orang lain, tetaplah berdakwah di manapun anti dan bagaimanapun anti adanya”
Hari ini saya bertemu dengannya, masih sama seperti yang dulu. Tidak berubah. Masih tetap “ramai”. Hatiku terusik juga untuk tertawa, senyumnya masih sama seperti yang dulu. Saya bahagia bisa bertemu dengannya lagi. Namun tak sanggup pula mata ini untuk menahan kristal bening yang ingin keluar. Masih teringat jelas sekali saat-saat kami beraktivitas dahulu, ia yang sangat militan, ia yang sangat berani, canda tawanya, kegelisahannya, semua hal tentangnya dahulu, masih teringat jelas. Masa-masa itu tak mungkin akan kembali. Ia telah memutuskan bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan terakhir. Dan saya tahu, bahwa hal itu membuatnya jauh lebih tenang. Subhanallah...
Saudaraku...
Tulisan ini kupersembahkan untukmu. Untuk manisnya persaudaraan, indahnya persahabatan, hangatnya diskusi-diskusi yang kita lakukan, peluh dan air mata yang mengalir bersama perjuangan kita. Walau ku tahu, engkau tak akan berjalan bersamaku lagi, walau ku tahu engkau pun masih menyimpan kenangan itu.
Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang, penuh onak dan duri, penuh batu-batu terjal yang senantiasa menghalangi para pejalannya untuk sampai di tujuan. Jalan ini adalah jalan orang-orang yang sedikit jumlahnya. Jalan mereka yang siap berkorban segalanya demi sebuah janji yang pasti Allah berikan. Jalan orang-orang yang sabar dan istiqomah.
Saudaraku...
Penuhilah kantong-kantong ilmu kita, penuhilah kantong-kantong amal kita. Penuhilah rongga dadamu dengan semangat yang membara, keikhlasan yang murni, dan keteguhan untuk berada pada jalan dakwah ini. Apapun kita dan bagaimana pun kita, kita adalah da’i sebelum segala sesuatu. Dan kita adalah ruh pada tubuh umat ini.
Saat jiwamu terbakar dengan rasa amarah dan kecewa, arahkan ia selalu pada Allah, Rabb pembolak-balik hati. Saat engkau bersedih, kembalikan kepadaNya. Saat engkau bahagia, kembalikan padaNya.
Saudaraku...
Tulisan ini adalah hasil simponi jiwaku. Jauh di relung hatiku terdalam, ada kerinduan akan segala aktivitas kita dahulu. Walau semuanya akan tetap berjalan dengan atau tanpamu. Sungguh, aku mencintaimu karena Allah ukh. Dan desah nafas ini akan semakin memburu saat berjuang di jalan Allah, dan semakin mendesah saat menyebut namaNya. Semoga Allah mengabadikan nafas kita di Jannah-Nya. Amin.
Created by : hanan2jahid, petang yang kelabu. Saat tetesan hujan membasahi bumi, sebagaimana hatiku yang sedang basah karena telaga itu.
NB : Untuk para pejuang kebenaran, siapapun dan di manapun antum dan antuna berada, fastabiqul khoirot. Jalan ini masih panjang saudaraku, jangan engkau jatuh sebelum mencapai puncaknya. Di atas sana, engkau akan melihat sebuah keindahan, cahaya Allah akan masuk ke relung kalbu insan-insan yang beriman.
Namun satu tak akan pudar, Cahya Allah tetap membahana
Majulah sahabat mulia, Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa, Cita kita tetap satu jua
Walau raga meregang nyawa, Harta dunia tiada tersisa
Namun jiwa tetaplah satria, Takkan surut satu langkah jua
Majulah sahabat mulia, Berpisah bukan akhir segalanya
Lepas jiwa terbang mengangkasa, Cita kita tetap satu jua
Debu-debu dab darah suci, saksi nan tak terbantahkan lagi
Gunung lembah hutan dan samudra, Untuk Allah di atas segalanya
Lirik nasyid Izzatul Islam itu mengalir di benak saya. Teringat saat-saat perjuangan dahulu. Bersama seorang sahabat yang senantiasa menjadi pendamping di kala suka dan duka. Saya masih ingat, lirik ini menjadi lirik yang paling kami minati. Di setiap agenda dakwah, aksi-aksi, mabit, dauroh, dan sebagainya. Selalu hadir nasyid yang menggelorakan semangat di dada kami. Masya Allah...
Kata-katanya waktu itu, saat pertemuan di sebuah konser amal, sangat mengejutkan saya. Ia telah memutuskan untuk tak seiring sejalan lagi dengan saya, walau kami tetap di bawah satu panji yaitu islam. Metode kami sudah berbeda, cara berfikir kami pun sudah berbeda, walau begitu ia tetaplah saudara saya, sahabat terbaik yang pernah saya miliki.
Masih teringat jelas kata-katanya waktu itu, “Ana ingin pindah ukh”. Deg. Saya terkejut dan sudah dapat menebak arah pembicaraannya, dan saya juga faham bagaimana kondisinya luar dalam hingga ia berani mengambil sikap seperti itu. Lalu saya katakan padanya, “Kita sudah sama-sama dewasa. Anti tahu jalan mana yang harus dipilih. Tak mungkin ana paksakan apa yang seharusnya anti pilih. Tak perlu juga ana memaksa anti untuk tetap pada jalan ini, karena itu semua adalah hak anti. Walau jujur ana katakan, ana sebagai seorang saudara belum ikhlas dengan keputusan anti, tapi bagaimanapun juga keputusan ada di tangan anti. Satu yang harus anti fahami bahwa di manapun anti berada, tetaplah menjadi orang yang memberikan manfaat kepada orang lain, tetaplah berdakwah di manapun anti dan bagaimanapun anti adanya”
Hari ini saya bertemu dengannya, masih sama seperti yang dulu. Tidak berubah. Masih tetap “ramai”. Hatiku terusik juga untuk tertawa, senyumnya masih sama seperti yang dulu. Saya bahagia bisa bertemu dengannya lagi. Namun tak sanggup pula mata ini untuk menahan kristal bening yang ingin keluar. Masih teringat jelas sekali saat-saat kami beraktivitas dahulu, ia yang sangat militan, ia yang sangat berani, canda tawanya, kegelisahannya, semua hal tentangnya dahulu, masih teringat jelas. Masa-masa itu tak mungkin akan kembali. Ia telah memutuskan bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan terakhir. Dan saya tahu, bahwa hal itu membuatnya jauh lebih tenang. Subhanallah...
Saudaraku...
Tulisan ini kupersembahkan untukmu. Untuk manisnya persaudaraan, indahnya persahabatan, hangatnya diskusi-diskusi yang kita lakukan, peluh dan air mata yang mengalir bersama perjuangan kita. Walau ku tahu, engkau tak akan berjalan bersamaku lagi, walau ku tahu engkau pun masih menyimpan kenangan itu.
Jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang, penuh onak dan duri, penuh batu-batu terjal yang senantiasa menghalangi para pejalannya untuk sampai di tujuan. Jalan ini adalah jalan orang-orang yang sedikit jumlahnya. Jalan mereka yang siap berkorban segalanya demi sebuah janji yang pasti Allah berikan. Jalan orang-orang yang sabar dan istiqomah.
Saudaraku...
Penuhilah kantong-kantong ilmu kita, penuhilah kantong-kantong amal kita. Penuhilah rongga dadamu dengan semangat yang membara, keikhlasan yang murni, dan keteguhan untuk berada pada jalan dakwah ini. Apapun kita dan bagaimana pun kita, kita adalah da’i sebelum segala sesuatu. Dan kita adalah ruh pada tubuh umat ini.
Saat jiwamu terbakar dengan rasa amarah dan kecewa, arahkan ia selalu pada Allah, Rabb pembolak-balik hati. Saat engkau bersedih, kembalikan kepadaNya. Saat engkau bahagia, kembalikan padaNya.
Saudaraku...
Tulisan ini adalah hasil simponi jiwaku. Jauh di relung hatiku terdalam, ada kerinduan akan segala aktivitas kita dahulu. Walau semuanya akan tetap berjalan dengan atau tanpamu. Sungguh, aku mencintaimu karena Allah ukh. Dan desah nafas ini akan semakin memburu saat berjuang di jalan Allah, dan semakin mendesah saat menyebut namaNya. Semoga Allah mengabadikan nafas kita di Jannah-Nya. Amin.
Created by : hanan2jahid, petang yang kelabu. Saat tetesan hujan membasahi bumi, sebagaimana hatiku yang sedang basah karena telaga itu.
NB : Untuk para pejuang kebenaran, siapapun dan di manapun antum dan antuna berada, fastabiqul khoirot. Jalan ini masih panjang saudaraku, jangan engkau jatuh sebelum mencapai puncaknya. Di atas sana, engkau akan melihat sebuah keindahan, cahaya Allah akan masuk ke relung kalbu insan-insan yang beriman.