Di suatu pagi....
Pagi yang menyegarkan sangat menggoda untuk bersenandung, senandung para mujahid. Namun pagi itu, senandung yang biasa saya lantunkan dalam hati harus berhenti sejenak. Saat lampu merah di perempatan, anak jalanan yang usianya saya taksir masih sekitar 6-7 tahun mulai memainkan alat musik khas mereka di angkutan-angkutan umum. Saya tak tahu apa nama alatnya, bunyinya mirip kerincingan, tapi hanya terbuat dari kayu kecil yang di ujungnya ditambahkan kepingan-kepingan logam hingga membentuk suara-suara yang tak seberapa.
Ia duduk di bangku pinggir, tepat di depan saya. Ia terus saja menyanyi tanpa menghiraukan para penumpang yang mungkin sudah tak tahan mendengarkannya. Lagu yang ia nyanyikan pada umumnya lagu-lagu band indonesia, namun karena kurang profesional, jadi suara yang terdengar hanyalah suara sumbang. Tanpa sadar saya terus memperhatikan anak itu menyanyi. Badannya kurus, kecil, agak kumal, dan wajahnya menampakkan keletihan. Lalu saat ia selesai menyanyi, seperti biasa ia menyodorkan kantong plastik untuk diisi penumpang. Saya lihat ia tetap duduk di bangku itu walau sudah selesai mengerjakan tugasnya. Mungkin ia turun di persimpangan lampu merah berikutnya, pikir saya waktu itu.
Hmm...matanya menerawang. Sarat akan pengharapan. Lalu saya tanya ia, “Apa ngga sekolah dek?”, dengan singkat ia jawab, “ngga”. “Di mana rumahnya?”, “Dekat sini”, jawabnya sambil menunjuk arah rumahnya. Belum selesai rasa penasaran ini, lampu merah berikutnya sudah menyala. Akhirnya saya harus rela melepaskannya pergi. Hiks.
Siang yang terik...
Pulang kuliah seperti biasa saya naik angkot. Lalu di perempatan lampu merah lagi, saya bertemu dengan anak jalanan yang lain, kali ini seorang gadis cilik. Suaranya cukup bagus, tidak seperti yang pernah saya jumpai. Alat yang ia pakai pun lebih maju, sebuah gitar mainan. Dengan lihai ia memainkan jari-jemarinya, mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang biasa dinyanyikan mahasiswa waktu aksi reformasi dulu, tentang anak negeri. Saya cukup hafal dengan lagu itu, walau dulu tidak pernah dimainkan dengan alat musik apapun. Namun, dalam hati saya sangat khawatir. Seorang anak perempuan kecil, yang masih lugu, masih belum faham dunia luar, dunia yang keras, harus berada di jalanan seharian. Jalanan yang sangat rawan dan sarat akan kekerasan. Apalagi bagi seorang anak perempuan cilik. Duh, betapa mirisnya.
Hujan di suatu malam...
Malam itu, orang tua mengajak makan malam di luar. Bukan di restoran mewah, tapi di sebuah warung nasi, yang menyediakan sea food dan bebek goreng. Saya lebih suka makan di warung-warung pinggiran ketimbang di sebuah restoran mahal. Lebih nyaman duduk bersama orang-orang yang apa adanya, dari pada harus di restoran mewah, yang makan saja harus diatur (hanya persepsi pribadi kok J). Lalu seorang anak kecil, anak jalanan juga, menghampiri meja kami. Ia menyodorkan semir sepatu, menandakan ia ingin menyemir sepatu kami. Lalu saya spontan tersenyum padanya, “Maaf ya dek, kakak ngga pakai sepatu, tapi pakai sandal”, sambil saya sodorkan kedua kaki saya. Ia tertawa, kami pun tertawa. Tapi ayah memberinya sedikit uang agar ia tidak kecewa.
Hmm...aroma makanan sudah menggoda. Lalu dengan lahap saya makan hidangan yang telah diberikan. Tapi kemudian, saya tersentak. Saat tiba-tiba mata saya tertuju pada anak tadi. Duh, hati ini tak kuasa menahan iba. Di saat saya menikmati makanan enak, ia hanya bisa memandangi sambil berteduh di bawah ruko karena hujan.
Masya Allah, selera makan saya tiba-tiba hilang. Tapi bagaimanapun juga harus dihabiskan, mubadzir. Dalam hati saya bertanya, anak itu apa tidak pulang, apa orang tuanya tidak kecarian, apa ia tidak sekolah besok, apa ia tidak sakit, dan lain-lain. Tapi pertanyaan itu hanya sampai di hati saja, tanpa ada jawaban.
***
Begitulah sekelumit kisah anak-anak jalanan yang sarat akan hikmah dan pengalaman. Tak disangka, negara yang memiliki undang-undang pemeliharaan anak-anak terlantar, namun justru mereka semakin banyak di jalanan, baik besar maupun kecil. Tanpa ada pembinaan, pengayoman, pengontrolan, dan lain-lain yang menjaga potensi-potensi mereka agar tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk. Bagaimana dengan LSM, rumah singgah, dan lain-lain? Saya merasa kebanyakan mereka belum maksimal. Yah, itu hanya secuil dari banyaknya masalah yang dihadapi di jalanan. Mereka bukan hanya butuh materi, tetapi mereka butuh pembinaan diri, kasih sayang, pendidikan, keterampilan, dan lain-lain yang dapat menyokong eksistensi mereka untuk bertahan. Menghidupkan kembali potensi mereka ke arah positif, bukan sekedar turun ke jalan.
Yah..ini PR besar buat kita semua, buat bangsa ini. Sekedar memperhatikan mereka sejenak, saya rasa tidak ada salahnya bukan?
NB: Jadi kangen ama anak-anak jalanan itu. Kangen mendengar celotehannya, suaranya, canda tawanya, dll. Ah, hidup ini mungkin tak akan berwarna jika tak ada mereka.
Created by : Hanan2jahid, di tengah-tengah tumpukan laporan, zzzzz :D
Pagi yang menyegarkan sangat menggoda untuk bersenandung, senandung para mujahid. Namun pagi itu, senandung yang biasa saya lantunkan dalam hati harus berhenti sejenak. Saat lampu merah di perempatan, anak jalanan yang usianya saya taksir masih sekitar 6-7 tahun mulai memainkan alat musik khas mereka di angkutan-angkutan umum. Saya tak tahu apa nama alatnya, bunyinya mirip kerincingan, tapi hanya terbuat dari kayu kecil yang di ujungnya ditambahkan kepingan-kepingan logam hingga membentuk suara-suara yang tak seberapa.
Ia duduk di bangku pinggir, tepat di depan saya. Ia terus saja menyanyi tanpa menghiraukan para penumpang yang mungkin sudah tak tahan mendengarkannya. Lagu yang ia nyanyikan pada umumnya lagu-lagu band indonesia, namun karena kurang profesional, jadi suara yang terdengar hanyalah suara sumbang. Tanpa sadar saya terus memperhatikan anak itu menyanyi. Badannya kurus, kecil, agak kumal, dan wajahnya menampakkan keletihan. Lalu saat ia selesai menyanyi, seperti biasa ia menyodorkan kantong plastik untuk diisi penumpang. Saya lihat ia tetap duduk di bangku itu walau sudah selesai mengerjakan tugasnya. Mungkin ia turun di persimpangan lampu merah berikutnya, pikir saya waktu itu.
Hmm...matanya menerawang. Sarat akan pengharapan. Lalu saya tanya ia, “Apa ngga sekolah dek?”, dengan singkat ia jawab, “ngga”. “Di mana rumahnya?”, “Dekat sini”, jawabnya sambil menunjuk arah rumahnya. Belum selesai rasa penasaran ini, lampu merah berikutnya sudah menyala. Akhirnya saya harus rela melepaskannya pergi. Hiks.
Siang yang terik...
Pulang kuliah seperti biasa saya naik angkot. Lalu di perempatan lampu merah lagi, saya bertemu dengan anak jalanan yang lain, kali ini seorang gadis cilik. Suaranya cukup bagus, tidak seperti yang pernah saya jumpai. Alat yang ia pakai pun lebih maju, sebuah gitar mainan. Dengan lihai ia memainkan jari-jemarinya, mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang biasa dinyanyikan mahasiswa waktu aksi reformasi dulu, tentang anak negeri. Saya cukup hafal dengan lagu itu, walau dulu tidak pernah dimainkan dengan alat musik apapun. Namun, dalam hati saya sangat khawatir. Seorang anak perempuan kecil, yang masih lugu, masih belum faham dunia luar, dunia yang keras, harus berada di jalanan seharian. Jalanan yang sangat rawan dan sarat akan kekerasan. Apalagi bagi seorang anak perempuan cilik. Duh, betapa mirisnya.
Hujan di suatu malam...
Malam itu, orang tua mengajak makan malam di luar. Bukan di restoran mewah, tapi di sebuah warung nasi, yang menyediakan sea food dan bebek goreng. Saya lebih suka makan di warung-warung pinggiran ketimbang di sebuah restoran mahal. Lebih nyaman duduk bersama orang-orang yang apa adanya, dari pada harus di restoran mewah, yang makan saja harus diatur (hanya persepsi pribadi kok J). Lalu seorang anak kecil, anak jalanan juga, menghampiri meja kami. Ia menyodorkan semir sepatu, menandakan ia ingin menyemir sepatu kami. Lalu saya spontan tersenyum padanya, “Maaf ya dek, kakak ngga pakai sepatu, tapi pakai sandal”, sambil saya sodorkan kedua kaki saya. Ia tertawa, kami pun tertawa. Tapi ayah memberinya sedikit uang agar ia tidak kecewa.
Hmm...aroma makanan sudah menggoda. Lalu dengan lahap saya makan hidangan yang telah diberikan. Tapi kemudian, saya tersentak. Saat tiba-tiba mata saya tertuju pada anak tadi. Duh, hati ini tak kuasa menahan iba. Di saat saya menikmati makanan enak, ia hanya bisa memandangi sambil berteduh di bawah ruko karena hujan.
Masya Allah, selera makan saya tiba-tiba hilang. Tapi bagaimanapun juga harus dihabiskan, mubadzir. Dalam hati saya bertanya, anak itu apa tidak pulang, apa orang tuanya tidak kecarian, apa ia tidak sekolah besok, apa ia tidak sakit, dan lain-lain. Tapi pertanyaan itu hanya sampai di hati saja, tanpa ada jawaban.
***
Begitulah sekelumit kisah anak-anak jalanan yang sarat akan hikmah dan pengalaman. Tak disangka, negara yang memiliki undang-undang pemeliharaan anak-anak terlantar, namun justru mereka semakin banyak di jalanan, baik besar maupun kecil. Tanpa ada pembinaan, pengayoman, pengontrolan, dan lain-lain yang menjaga potensi-potensi mereka agar tidak terjerumus pada hal-hal yang buruk. Bagaimana dengan LSM, rumah singgah, dan lain-lain? Saya merasa kebanyakan mereka belum maksimal. Yah, itu hanya secuil dari banyaknya masalah yang dihadapi di jalanan. Mereka bukan hanya butuh materi, tetapi mereka butuh pembinaan diri, kasih sayang, pendidikan, keterampilan, dan lain-lain yang dapat menyokong eksistensi mereka untuk bertahan. Menghidupkan kembali potensi mereka ke arah positif, bukan sekedar turun ke jalan.
Yah..ini PR besar buat kita semua, buat bangsa ini. Sekedar memperhatikan mereka sejenak, saya rasa tidak ada salahnya bukan?
NB: Jadi kangen ama anak-anak jalanan itu. Kangen mendengar celotehannya, suaranya, canda tawanya, dll. Ah, hidup ini mungkin tak akan berwarna jika tak ada mereka.
Created by : Hanan2jahid, di tengah-tengah tumpukan laporan, zzzzz :D